Sabtu, 20 April 2013


PERANG SAUDARA DAN ANARKISME REMAJA DI BUMI REOG

Wahyu Dwi Herlambang Nur Hadiansyah

Abstrak: Persaudaraan Setia Hati Winongo (PSHW) dan Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) merupakan sebuah organisasi seni bela diri pencak silat yang masih bersaudara dan mendapat perhatian dari masyarakat karena saling bermusuhan dan sering terlibat konflik. Organisasi ini tumbuh subur di kawasan Bumi Reog dikarenakan Kabupaten Ponorogo berdekatan dengan Kabupaten Madiun yang merupakan pusat dari organisasi pencak silat tersebut. Akhir-akhir ini kedua organisasi tersebut berulah lagi di kawasan Bumi Reog bagian selatan, apabila perang saudara tersebut terus terjadi maka akan menjadi sebuah kebudayaan yang menyimpang serta mampu menyebabkan kedua organisasi tersebut kehilangan pamor di mata masyarakat.

Kata Kunci: Pencak Silat, SH, PSHW, PSHT, Konflik.

            Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten yang masuk di daerah Provinsi Jawa Timur, Negara Republik Indonesia. Kabupaten ini terletak di koordinat 111º 17’ - 111º 52’ BT dan 7º 49’ - 8º 20 LS dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter di atas permukaan air laut dan memiliki luas wilayah 1.371,78 km² (www.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Ponorogo). Kabupaten Ponorogo terletak di sebelah barat dari Provinsi Jawa Timur dan berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Ponorogo dikenal dengan julukan Kota Reog atau Bumi Reog karena daerah ini merupakan daerah asal dari kesenian Reog.
            Kabupaten Ponorogo, tanpa banyak masyarakat luar yang tahu, kabupaten ini merupakan kawasan yang sangat subur mengenai pertumbuhan organisasi seni bela diri pencak silatnya. Pencak silat adalah gerakan tubuh yang menampilkan keindahan seni jurus-jurus tertentu dalam pertarungan yang berasal dari dalam jiwa untuk menyerang lawan (Saleh dan Matakupan, 1983). Berhubungan dengan banyaknya para pemuda yang berminat dengan olah gerak dari organisasi seni bela diri pencak silat serta ditambah dengan dekatnya Kabupaten Ponorogo ini dengan Kabupaten Madiun yang merupakan kawasan dan tempat dimana para pendekar berasal, secara tidak langsung mendukung organisasi seni bela diri tersebut untuk berkembang luas. Banyak organisasi seni bela diri pencak silat yang tumbuh subur di kawasan Bumi Reog yang diikuti oleh sebagian besar para pemuda (siswa SMP/MTS maupun SMA/SMK/MA) baik laki-laki maupun perempuan, seperti PERSAUDARAAN SETIA HATI WINONGO TUNAS MUDA MADIUN (PSHW), PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE (PSHT), CEMPAKA PUTIH (CP), BINTANG SURYA (BS), IKATAN KERA SAKTI (IKS), PAGAR NUSA (PN), GASMI, MERPATI PUTIH, BUNGA ISLAM, MARGOLOYO, LEMBU SEKILAN, JIU JITSU, TAE KWONDO, KARATE dan lain sebagainya.
Organisasi seni bela diri pencak silat yang mempunyai tujuan yang jelas sekarang sering disalahtafsirkan oleh para remaja/pemuda dari masing-masing pengikut organisasi pencak silat. Organisasi pencak silat tersebut dibentuk dengan tujuan yang mulia, yakni untuk membela diri ketika sedang berlawanan dengan musuh menggunakan seni bela diri pencak silatnya (Goodman, 1994: 84). Mereka para remaja yang masih belum matang pikirannya terlalu arogan/anarkis dan terlalu subjektif dalam menafsirkan mengenai apa makna dari seni bela diri dalam sebuah organisasi pencak silat yang mereka tekuni.
            Organisasi seni bela diri tersebut mempunya latar belakang dan cara berbeda dalam setiap kebijakan yang diterapkan oleh para pendiri dan para pengikutnya. Sehubungan sebagian besar para pengikut dari sekian banyak organisasi bela diri pencak silat adalah pemuda, maka rentan sekali terjadi adanya konflik antar organisasi tersebut. Dua organisasi seni bela diri pencak silat yang sejak dulu telah lama berkonflik, yang saling bermusuhan sejak lama, seta dendam dari kedua organisasi tersebut telah mendarah daging adalah PERSAUDARAAN SETIA HATI WINONGO TUNAS MUDA MADIUN (PSHW) dan PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE (PSHT). PSHW Vs PSHW merupakan dua organisasi yang paling banyak diikuti oleh mayoritas remaja/pemuda di Ponorogo. Oleh karena itu, maka sering terjadi pertikaian dari dua organisasi ini di kawasan Bhumi Reog yang merugikan banyak pihak. Mengapa dalam dua organisasi seni bela diri pencak silat ini (PSHW dan PSHT) saling bermusuhan dan acapkali mengalami pertikaian? Bagaimana cara membuat organisasi seni bela diri pencak silat ini berdamai dan saling menghargai?

SEJARAH PERMUSUHAN PSHW dengan PSHT

            Sejarah persaudaraan “Setia-Hati” disingkat SH berawal pada tahun 1903, yakni dengan didirikannya persaudaraan SEDULUR TUNGGAL KECER di kampung Tambak Gringsing-Surabaya oleh Ki Ngabehi Soero Diwiryo. Ki Ngabehi Soero Diwiryo mempunyai nama kecil, yakni Masdan. Saat itu nama permainan seni pencak silatnya adalah JOYO GENDILO dan hanya diikuti oleh delapan murid saja (delapan murid tersebut 2 diantaranya adalah adik kandung Ki Ngabehi Soero Diwiryo, 1 orang yakni orang Belanda dan beberapa diantaranya adalah cikal bakal para pendiri organisasi pencak silat Setia Hati Terate). Pada tahun 1915 nama permainan seni pencak silatnya berubah menjadi JOYO GENDILO CIPTO MULYO. Organisasi seni bela diri pencak silat tersebut mendapat hati di kalangan masyarakat setelah dilakukannya demonstrasi secara terbuka di aloon-aloon Kota Madiun pada tahun 1917 dan menjadi populer di masyarakat karena memiliki gerakan yang unik dan bertenaga. Ki Ngabehi Soero Diwiryo mengganti nama organisasi seni bela diri pencak silat JOYO GENDILO CIPTO MULYO menjadi PERSAUDARAAN SETIA HATI (http://literatursejarah.blogspot.com/2010/01/sejarah-persaudaraan-setia-hati-tunas.html). Lantas dengan seiring berjalannya waktu, Persaudaraan Setia Hati berganti nama menjadi Persaudaraan Setia Hati Winongo Tunas Muda Madiun (PSHW). PSHW berpusat di Desa Winongo, Kabupaten Madiun. Persaudaraan ini pada hakekatnya bertujuan untuk membekali masyarakat yang ikut mejadi anggota organisasi ini dengan seni bela diri pencak silat untuk mempertahankan diri dari gangguan musuh.
            Sedangkan Persaudaraan Setia Hati Terate didirikan pada tahun 1922 oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo di Desa Pilangbango, Kabupaten Madiun. Ki Hadjar Hardjo Oetomo sendiri merupakan siswa kinasih (siswa kesayangan) dari Ki Ngabehi Soero Diwiryo (pendiri aliran pencak silat Setia Hati atau lebih akrab dengan singkatan SH). Di awal perintisannya, perguruan pencak silat yang didirikan Ki Hadjar ini diberi nama Setia Hati Pencak Sport Club (SH PSC). Semula, SH PSC lebih memerankan diri sebagai basis pelatihan dan pendadaran pemuda Madiun dalam menentang penjajahan. Untuk mensiasati kolonialisme perguruan ini beberapa kali sempat berganti nama, yakni, dari SH PSC menjadi Setia Hati Pemuda Sport Club (http://blog.prosilat.com/?page_id=40). Perubahan makna akronim ‘’P’’ dari ‘’ Pencak’’ menjadi ‘’Pemuda’’ sengaja dilakukan agar pemerintah Hindia Belanda tidak menaruh curiga dan tidak membatasi kegiatan SH PSC. Pada tahun 1922 SH PSC berganti nama lagi menjadi Setia Hati Terate. Kabarnya, nama ini merupakan inisiatif Soeratno Soerengpati, siswa Ki Hadjar yang juga tokoh perintis kemerdekaan berbasis Serikat Islam (SI). Persaudaraan Setia Hati Terate pada dasarnya bertujuan membekali para anggota organisasinya untuk membela diri dari gangguan para musuhnya.
            Dapat kita garis bawahi bahwa pada dasarnya antara Persaudaraan Setia Hati Winongo (PSHW) dengan Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) masih memiliki hubungan saudara, karena pendiri PSHT adalah murid dari pendiri PSHW. PSHW dan PSHT sama-sama memiliki tujuan yang adi luhung atau mulia bagi masyarakat, yakni membekali masyarakat dengan ilmu seni bela diri pencak silat guna untuk menjadi tameng dikala mendapat gangguan dari musuh. Secara garis besar tidak ada celah-celah permusuhan antara dua organisasi pencak silat untuk bertikai. Lalu ada apa sebenarnya dengan mereka yang saling berseteru di luar sana dengan membawa-bawa nama dua organisasi sebagai perisai untuk alasan bertikai? Ada beberapa faktor yang menyebabkan konflik antar dua organisasi pencak silat ini, yakni sebagai berikut:
·         Ternyata di luar sana berkembang cerita versi lain bahwa Ki Hadjar Hardjo Oetomo sebagai pendiri Persaudaraan Setia Hati Terate telah berkhianat terhadap Ki Ngabehi Soero Diwiryo (pendiri PSHW) karena setelah mendapat ilmu dari Ki Ngabehi Soerodiwiryo, Ki Hadjar Hardjo Oetomo mendirikan organisasi pencak silat sendiri. Ki Hadjar Hardjo Utomo dianggap pengkhianat oleh anggota pencak silat PSHW.
·         Kedua perguruan mengklaim bahwa nilai ideologi aliran SH yang asli dan paling benar ada didalam perguruan mereka, oleh karena itu mereka saling bertikai (Louis Rika, 2012).
·         Adanya stigma bahwa PSHW identik dengan sebutan “celeng/babi hutan” dan PSHT dengan sebutan”kirek/anjing”. Antar anggota PSHW dan PSHT acapkali berseteru mengolok-olok dengan kata-kata “celeng dan kirek”.
·         Anggota dari organisasi PSHW maupun PSHT mayoritas masih terlalu muda dan belum bisa mengontrol emosi.

PERTIKAIAN PARA PENDEKAR di BUMI REOG

            Pada hari minggu tanggal 15 Januari 2013 Ratusan pendekar dari dua perguruan pencak silat bentrok di Kecamatan Slahung, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Empat rumah warga rusak akibat terkena lemparan batu. Sebuah sepeda motor yang kebetulan terparkir di lokasi bentrokan juga ikut dirusak. Menurut warga bentrok terjadi ketika massa salah satu perguruan terbesar di Ponorogo tengah berkonvoi. Entah apa pemicunya, tiba-tiba mereka saling lempar dengan massa perguruan silat lainnya. Untuk menghidari bentrok susulan, ratusan polisi berjaga di sejumlah titik rawan kerusuhan (Dirgo Suyono, berita liputan 6 pagi SCTV).
            Dari Liputan Berita 6 Pagi di SCTV diketahui bahwa telah terjadi bentrokan di kawasan Kecamatan Slahung, Kabupaten Ponorogo oleh anggota suatu perguruan pencak silat yang menyebabkan kerugian oleh beberapa pihak. Dapat dikatakan bahwa yang bertikai tersebut adalah anggota dari PSHW dengan PSHT. Entah mengapa anggota dari organisasi PSHT tiba-tiba menyerang anggota organisasi PSHW. Selang beberapa waktu dapat diketahui bahwa penyebab dari bentrokan tersebut adalah pembuatan sebuah tugu dari lambang organisasi PSHW di Desa Bungkul, Kecamatan Slahung, Kabupaten Ponorogo. Anggota dari PSHT merusak tugu, sepeda motor dan beberapa rumah disekitar tempat tugu tersebut berada.
            Para warga di sekitar tempat kejadian bentrok masih terheran-heran dengan ulah para pemuda tersebut. Mengapa para anggota PSHT dengan arogannya melalukan tindak anarkisme seperti itu. Masyarakat Ponorogo sudah tahu soal adanya permusuhan antara dua organisasi tersebut sejak lama, namun yang menjadikan pertanyaan, mengapa anggota PSHT merusak tugu, motor dan rumah warga yang tidak tahu apa-apa? Apakah mereka bersalah? Setelah dikaji lebih lanjut dapat diketahui bahwa akar dari permasalahan tersebut adalah anggota PSHT tidak terima apabila anggota PSHW mendirikan tugu di kawasan Kabupaten Ponorogo.
            Para anggota dari organisasi PSHW merasa heran dengan ulah dari saudara muda mereka (anggota dari PSHT), mengapa mereka tidak terima dengan adanya satu buah tugu dari organisasi PSHW? Bukankah tugu mereka (PSHT) berdiri dimana-mana? Apakah mereka merasa iri dengan berdirinya satu buah tugu saja dari organisasi PSHW? Padahal anggota PSHW selama ini tidak pernah melakukan pengrusakan terhadap tugu-tugu dari organisasi PSHT sendiri. Oleh karena itu pada tanggal 15 Januari 2013 konflik antara PSHW dengan PSHT mengenai berdirinya tugu PSHW di kawasan Kota Reog tidak bisa dihindari. PSHW bertekad melindungi tugu mereka yang baru saja dibuat, sedangkan PSHT bertujuan untuk merusak tugu tersebut.
Anarkisme di dalam konteks remaja yang menjadi anggota dari organisasi seni bela diri pencak silat PSHW dan PSHT di Bumi Reog seolah-olah menjadi sebuah kebiasaan yang dilestarikan. Apabila hal tersebut tetap dianggap perilaku biasa, maka bisa-bisa menjadi sebuah kebudayaan yang menyimpang. Kebudayaan yang menyimpang ialah sebuah perilaku yang tidak benar dalam pandangan hidup, kepercayaan, dan simbol-simbol masyarakat (Liliweri, 2007: 7). Betapa bahanya apabila perilaku anarkisme menjadi sebuah kebudayaan di dalam lingkup masyarakat, pasti akan menjadi sebuah gaya hidup yang berbahaya dan menyimpang serta merugikan banyak pihak.
            Seharusnya mereka para pendekar (baik anggota PSHW maupun PSHT) lebih dewasa dalam mengambil sikap. Dengan mengambil langkah untuk bentrok akan menyebabkan kerugian dari kedua belah bilak, baik pihak PSHW maupun PSHT sendiri dan bahkan membuat rugi pihak lain. Bukankah antara PSHW dengan PSHT masih bersaudara? Bukankah tujuan utama mereka ikut organisasi seni bela diri pencak silat untuk membela diri ketika mendapat tekanan dari musuh? Kenapa mereka malah menyimpang dari tujuan luhur organisasi mereka sendiri? Apakah para anggota organisasi tersebut tidak malu kepada masyarakat dengan ulah yang kekanak-kanakan seperti itu? Semestinya para pendekar dari anggota PSHT lebih mawas diri terhadap perbuatan mereka soal perusakan tugu dari PSHW. Seharusnya mereka segan melakukan perbuatan seperti itu sebab secara nyata mereka (anggota PSWH) tidak pernah melakukan perbuatan perusakan tugu PSHT. Kenapa tidak dibiarkan saja mereka para anggota PSHW membuat tugu sebagai sebuah ekspresi kebanggaan mereka terhadap organisasi yang diikutinya. Seharusnya PSHT lebih tenggang rasa, menghormati, dan menghargai mereka. Soalnya sikap tersebut sudah ditunjukkan lebih lama dari anggota PSHW yang tidak pernah melakukan perusakan terhadap tugu PSHT.
            Sebenarnya para pemimpin dari kedua organisasi tersebut, yakni PSHW dan PSHT telah mengambil sikap yang bijak. Para pemimpin organisasi tersebut telah bersuara untuk berdamai dan berjanji tidak akan saling bertikai antara satu dengan yang lainnya. Seyogyanya apabila pemimpin sudah berdamai, sudah sepantasnya para pengikutnya juga akan ikut berdamai. Namun ternyata tidak, dipantau di lapangan mereka para pendekar dari kedua organisasi tersebut masih sering melakukan pertikaian. Entah siapa yang memulai konflik terlebih dahulu keadaan telah menjadi buram. Mungkin penyebab utama dari rentetan konflik yang berkepanjangan antara PSHW dengan PSHT adalah mayoritas para anggotanya yang masih muda/remaja yang masih labil dalam hal mengontrol ego serta sangat mudah marah. Jadi konflik sangat rentan terjadi diantara pemuda yang berbeda organisasi pencak silat (terutama antara PSHW dengan PSHT). Sudah sepantasnya para pemimpin organisasi dari PSHW maupun PSHT lebih ketat menyeleksi siapa saja yang mau masuk menjadi anggota, hal tersebut bisa dipraktekkan dengan menggunakan batasan umur, semisal hanya bisa menerima anggota yang telah berumur 17 tahun. Apabila hal tersebut bisa diterapkan maka bisa lebih efisien untuk meminimalisir terjadinya konflik. Karena remaja yang telah 17 tahun lebih matang kadar emosinya dan lebih bisa mengontrol setiap langkah perbuatannya. Sebab realitanya, remaja yang berumur 13-16 tahun masih labil dalam hal mengambil keputusan, mudah terpengaruh, mudah emosi, serta belum terlalu mahir dalam menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik (Siti Rahayu, 2006: 276-277).
            Pihak kepolisian seharusnya lebih tanggap mengenai permasalahan dari dua organisasi terbesar ini di kawasan Bumi Reog. Polisi seharusnya bertindak cepat apabila dua organisasi ini sedang melakukan hajatan dalam skala besar, harus mendampinginya sampai acara tersebut selesai. Mengapa harus demikian? Karena selama ini konflik sering terjadi disaat salah satu organisasi mengadakan hajatan penting dan ada organisasi dari pencak silat lain yang mengganggu. Maka terjadilah konflik/duel antar pemuda yang berbeda organisasi tersebut. Mungkin pihak berwajib seharusnya juga lebih memberikan perhatian khusus terhadap dua organisasi yang rawan berkonflik ini.

PENUTUP

            Organisasi seni bela diri pencak silat pada dasarnya merupakan sebuah kelompok yang dibentuk untuk memberikan pelatihan jurus-jurus tertentu kepada anggotanya guna menjadi tameng diri ketika dihadapkan dengan gangguan musuh. Seni bela diri pencak silat sendiri juga pasti mempunyai ideologi untuk membela yang benar. Tidak terlepas dari itu, organisasi yang sering bertikai dan bermusuhan seperti PSHW dan PSHT sendiripun juga memiliki ideologi seperti itu. Namun seiring berjalannya waktu, para anggota organisasi tersebut menjauh dari tujuan utama mereka. Mereka menjadi semena-mena dalam berbuat sesuatu dikarenakan mereka telah mempelajari seni bela diri pencak silat dan kebanyakan mereka yang bertingkah seperti itu adalah para remaja/pemuda (siswa SMP/SMA).
            Mereka para anggota organisasi PSHW maupun PSHT yang masih muda/remaja terlalu rentan untuk melakukan konflik. Mereka belum bisa mengontrol ego mereka dan membedakan secara pasti bagaimana caranya berperilaku yang baik di dalam masyarakat. Mereka para remaja yang menjadi anggota dari organisasi yang bermusuhan tersebut mendapat stigma buruk dari masyarakat dikarenakan ulah mereka sendiri yang sering bertikai dan bahkan berbuat onar yang bisa merugikan masyarakat. Apabila tindak anarkis mereka masih terus berlangsung yang disebabkan karena permusuhan lama dan kesalahpahaman maka bisa-bisa organisasi seni bela diri pencak silat mereka (PSHW dan PSHT) mengalami penurunan pamor dalam masyarakat luas. Oleh karena itu perlu adanya penanganan lebih lanjut dari pemimpin kedua organisasi tersebut terhadap para anggotanya, pihak kepolisian dan dari masyarakat.
            Penanganan lebih lebih lanjut tersebut dimaksudkan supaya konflik antara dua organisasi ini bisa diredam. Apabila hal tersebut bisa tercipta, semisal antara PSHW dan PSHT berdamai dan melupakan permusuhan mereka, maka tidak akan terjadi adanya tindak anarkisme dan terjadinya kerugian di dalam masyarakat. Sudah sepentasnya jalan damai dilakukan antara dua organisasi pencak silat silat ini, sebab masyarakat yang mengalami kerugian sudah bosan dengan tingkah laku anarkisme mereka. Berbeda ideologi itu wajar, tetapi jangan jadikan perbedaan sebagai alasan untuk bertikai. Tidak ada salahnya hidup berdampingan dengan organisasi seni bela diri pencak silat lainnya.

DAFTAR RUJUKAN
Goodman, F. Bela Diri Untuk Semua Umur. 1994. Ghalia Indonesia: Jakarta.
Liliwei, A. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. 2007. PT LKiS Pelangi Aksara: Yogyakarta.
Rahayu, S. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam berbagai bagiannya. 2006. Gajah Mada University Press: Yogyakarta.
Saleh, M. dan Matakupan, J. Bela Diri II. 1983. CV. Gembira: Jakarta.
http://blog.prosilat.com/?page_id=40. Diakses 28 Maret 2013. 

5 komentar:

  1. mkanya kalau konvoi mulutnya d jaga,,,jo misuh2 ngelokne organisasi liyo,,,,

    BalasHapus
  2. Bisa ditebak penulis dari PSHW

    BalasHapus
  3. Bisa ditebak penulis dari PSHW

    BalasHapus
  4. Bisa ditebak penulis dari PSHW

    BalasHapus
  5. koyok,e iyo mas...sak ngertiku SH asli yo sh panti kui.tp buktinya sh panti berdiri sendiri tdk mw berurusan dgn pshw & psht.klo pshw merasa penerus sh asli knpa sh panti masih ada.dan pshw membuat lambang sendiri.sedangkan sh panti masih pake lambng asli awal psh.jd menurut sya jgn merasa membenarkan ajaran maupun pewaris sh suro diwiryo.karna pshw & psht sudh berdiri sndiri.sedgkan sh panti masih asli.salam persaudaraan

    BalasHapus