PERANG
SAUDARA DAN ANARKISME REMAJA DI BUMI REOG
Wahyu
Dwi Herlambang Nur Hadiansyah
Abstrak: Persaudaraan Setia Hati Winongo (PSHW)
dan Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) merupakan sebuah organisasi seni bela
diri pencak silat yang masih bersaudara dan mendapat perhatian dari masyarakat
karena saling bermusuhan dan sering terlibat konflik. Organisasi ini tumbuh
subur di kawasan Bumi Reog
dikarenakan Kabupaten Ponorogo berdekatan dengan Kabupaten Madiun yang
merupakan pusat dari organisasi pencak silat tersebut. Akhir-akhir ini kedua
organisasi tersebut berulah lagi di kawasan Bumi
Reog bagian selatan, apabila perang saudara tersebut terus terjadi maka
akan menjadi sebuah kebudayaan yang menyimpang serta mampu menyebabkan kedua
organisasi tersebut kehilangan pamor di mata masyarakat.
Kata
Kunci: Pencak Silat, SH, PSHW, PSHT, Konflik.
Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten yang
masuk di daerah Provinsi Jawa Timur, Negara Republik Indonesia. Kabupaten ini
terletak di koordinat 111º 17’ - 111º 52’ BT dan 7º 49’ - 8º 20 LS dengan
ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter di atas permukaan air laut dan
memiliki luas wilayah 1.371,78 km² (www.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Ponorogo).
Kabupaten Ponorogo terletak di sebelah barat dari Provinsi Jawa Timur dan
berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Ponorogo dikenal
dengan julukan Kota Reog atau Bumi Reog karena daerah ini merupakan
daerah asal dari kesenian Reog.
Kabupaten Ponorogo, tanpa banyak masyarakat luar yang
tahu, kabupaten ini merupakan kawasan yang sangat subur mengenai pertumbuhan
organisasi seni bela diri pencak silatnya. Pencak silat adalah gerakan tubuh
yang menampilkan keindahan seni jurus-jurus tertentu dalam pertarungan yang
berasal dari dalam jiwa untuk menyerang lawan (Saleh dan Matakupan, 1983). Berhubungan
dengan banyaknya para pemuda yang berminat dengan olah gerak dari organisasi
seni bela diri pencak silat serta ditambah dengan dekatnya Kabupaten Ponorogo
ini dengan Kabupaten Madiun yang merupakan kawasan dan tempat dimana para
pendekar berasal, secara tidak langsung mendukung organisasi seni bela diri
tersebut untuk berkembang luas. Banyak organisasi seni bela diri pencak silat yang
tumbuh subur di kawasan Bumi Reog
yang diikuti oleh sebagian besar para pemuda (siswa SMP/MTS maupun SMA/SMK/MA)
baik laki-laki maupun perempuan, seperti PERSAUDARAAN
SETIA HATI WINONGO TUNAS MUDA MADIUN (PSHW), PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE
(PSHT), CEMPAKA PUTIH (CP), BINTANG SURYA (BS), IKATAN KERA SAKTI (IKS), PAGAR
NUSA (PN), GASMI, MERPATI PUTIH, BUNGA
ISLAM, MARGOLOYO, LEMBU SEKILAN, JIU JITSU, TAE KWONDO, KARATE dan lain
sebagainya.
Organisasi
seni bela diri pencak silat yang mempunyai tujuan yang jelas sekarang sering
disalahtafsirkan oleh para remaja/pemuda dari masing-masing pengikut organisasi
pencak silat. Organisasi pencak silat tersebut dibentuk dengan tujuan yang
mulia, yakni untuk membela diri ketika sedang berlawanan dengan musuh
menggunakan seni bela diri pencak silatnya (Goodman, 1994: 84). Mereka para
remaja yang masih belum matang pikirannya terlalu arogan/anarkis dan terlalu
subjektif dalam menafsirkan mengenai apa makna dari seni bela diri dalam sebuah
organisasi pencak silat yang mereka tekuni.
Organisasi seni bela diri tersebut mempunya latar
belakang dan cara berbeda dalam setiap kebijakan yang diterapkan oleh para
pendiri dan para pengikutnya. Sehubungan sebagian besar para pengikut dari
sekian banyak organisasi bela diri pencak silat adalah pemuda, maka rentan sekali
terjadi adanya konflik antar organisasi tersebut. Dua organisasi seni bela diri
pencak silat yang sejak dulu telah lama berkonflik, yang saling bermusuhan
sejak lama, seta dendam dari kedua organisasi tersebut telah mendarah daging
adalah PERSAUDARAAN SETIA HATI WINONGO
TUNAS MUDA MADIUN (PSHW) dan PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE (PSHT). PSHW Vs
PSHW merupakan dua organisasi yang paling banyak diikuti oleh mayoritas
remaja/pemuda di Ponorogo. Oleh karena itu, maka sering terjadi pertikaian dari
dua organisasi ini di kawasan Bhumi Reog
yang merugikan banyak pihak. Mengapa dalam dua organisasi seni bela diri pencak
silat ini (PSHW dan PSHT) saling bermusuhan dan acapkali mengalami pertikaian?
Bagaimana cara membuat organisasi seni bela diri pencak silat ini berdamai dan
saling menghargai?
SEJARAH
PERMUSUHAN PSHW dengan PSHT
Sejarah
persaudaraan “Setia-Hati” disingkat SH berawal pada tahun 1903, yakni dengan
didirikannya persaudaraan SEDULUR
TUNGGAL KECER di kampung Tambak Gringsing-Surabaya oleh Ki Ngabehi Soero Diwiryo.
Ki Ngabehi Soero Diwiryo mempunyai nama kecil, yakni Masdan. Saat itu nama
permainan seni pencak silatnya adalah JOYO
GENDILO dan hanya diikuti oleh delapan murid saja (delapan murid tersebut 2 diantaranya adalah adik kandung Ki Ngabehi Soero
Diwiryo, 1 orang yakni orang Belanda dan beberapa diantaranya adalah cikal
bakal para pendiri organisasi pencak silat Setia Hati Terate). Pada tahun
1915 nama permainan seni pencak silatnya berubah menjadi JOYO GENDILO CIPTO MULYO. Organisasi seni bela diri pencak silat
tersebut mendapat hati di kalangan masyarakat setelah dilakukannya demonstrasi
secara terbuka di aloon-aloon Kota Madiun pada tahun 1917 dan menjadi populer
di masyarakat karena memiliki gerakan yang unik dan bertenaga. Ki Ngabehi Soero
Diwiryo mengganti nama organisasi seni bela diri pencak silat JOYO GENDILO CIPTO MULYO menjadi PERSAUDARAAN SETIA HATI (http://literatursejarah.blogspot.com/2010/01/sejarah-persaudaraan-setia-hati-tunas.html).
Lantas dengan seiring berjalannya waktu, Persaudaraan Setia Hati berganti nama
menjadi Persaudaraan Setia Hati Winongo
Tunas Muda Madiun (PSHW). PSHW
berpusat di Desa Winongo, Kabupaten Madiun. Persaudaraan ini pada hakekatnya
bertujuan untuk membekali masyarakat yang ikut mejadi anggota organisasi ini
dengan seni bela diri pencak silat untuk mempertahankan diri dari gangguan
musuh.
Sedangkan Persaudaraan
Setia Hati Terate didirikan pada tahun 1922 oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo di
Desa Pilangbango, Kabupaten Madiun. Ki Hadjar Hardjo Oetomo sendiri merupakan
siswa kinasih (siswa kesayangan) dari Ki Ngabehi Soero Diwiryo (pendiri aliran
pencak silat Setia Hati atau lebih
akrab dengan singkatan SH). Di awal
perintisannya, perguruan pencak silat yang didirikan Ki Hadjar ini diberi nama Setia Hati Pencak Sport Club (SH PSC).
Semula, SH PSC lebih memerankan diri sebagai basis pelatihan dan pendadaran
pemuda Madiun dalam menentang penjajahan. Untuk mensiasati kolonialisme
perguruan ini beberapa kali sempat berganti nama, yakni, dari SH PSC menjadi Setia Hati Pemuda Sport Club (http://blog.prosilat.com/?page_id=40). Perubahan
makna akronim ‘’P’’ dari ‘’ Pencak’’ menjadi ‘’Pemuda’’ sengaja dilakukan agar
pemerintah Hindia Belanda tidak menaruh curiga dan tidak membatasi kegiatan SH
PSC. Pada tahun 1922 SH PSC berganti nama lagi menjadi Setia Hati Terate. Kabarnya, nama ini merupakan inisiatif Soeratno Soerengpati,
siswa Ki Hadjar yang juga tokoh perintis kemerdekaan berbasis Serikat Islam
(SI). Persaudaraan Setia Hati Terate pada dasarnya bertujuan membekali para
anggota organisasinya untuk membela diri dari gangguan para musuhnya.
Dapat
kita garis bawahi bahwa pada dasarnya antara Persaudaraan Setia Hati Winongo
(PSHW) dengan Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) masih memiliki hubungan
saudara, karena pendiri PSHT adalah murid dari pendiri PSHW. PSHW dan PSHT
sama-sama memiliki tujuan yang adi luhung
atau mulia bagi masyarakat, yakni membekali masyarakat dengan ilmu seni bela
diri pencak silat guna untuk menjadi tameng dikala mendapat gangguan dari
musuh. Secara garis besar tidak ada celah-celah permusuhan antara dua organisasi
pencak silat untuk bertikai. Lalu ada apa sebenarnya dengan mereka yang saling
berseteru di luar sana dengan membawa-bawa nama dua organisasi sebagai perisai
untuk alasan bertikai? Ada beberapa faktor yang menyebabkan konflik antar dua
organisasi pencak silat ini, yakni sebagai berikut:
·
Ternyata di luar sana berkembang cerita versi lain
bahwa Ki
Hadjar Hardjo Oetomo sebagai pendiri Persaudaraan Setia Hati Terate telah
berkhianat terhadap Ki Ngabehi Soero Diwiryo (pendiri PSHW) karena setelah
mendapat ilmu dari Ki Ngabehi Soerodiwiryo, Ki Hadjar Hardjo Oetomo mendirikan
organisasi pencak silat sendiri. Ki Hadjar Hardjo Utomo dianggap pengkhianat
oleh anggota pencak silat PSHW.
·
Kedua perguruan mengklaim bahwa nilai
ideologi aliran SH yang asli dan paling benar ada didalam perguruan mereka,
oleh karena itu mereka saling bertikai (Louis Rika, 2012).
·
Adanya stigma bahwa PSHW identik dengan
sebutan “celeng/babi hutan” dan PSHT dengan sebutan”kirek/anjing”. Antar
anggota PSHW dan PSHT acapkali berseteru mengolok-olok dengan kata-kata “celeng dan kirek”.
·
Anggota dari organisasi PSHW maupun PSHT
mayoritas masih terlalu muda dan belum bisa mengontrol emosi.
PERTIKAIAN
PARA PENDEKAR di BUMI REOG
Pada hari minggu tanggal 15 Januari 2013 Ratusan pendekar dari dua perguruan pencak silat bentrok di Kecamatan
Slahung, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Empat rumah warga rusak
akibat terkena lemparan batu. Sebuah sepeda motor yang kebetulan terparkir di
lokasi bentrokan juga ikut dirusak. Menurut warga bentrok terjadi ketika massa
salah satu perguruan terbesar di Ponorogo tengah berkonvoi. Entah apa
pemicunya, tiba-tiba mereka saling lempar dengan massa perguruan silat lainnya.
Untuk menghidari bentrok susulan, ratusan polisi berjaga di sejumlah titik
rawan kerusuhan (Dirgo Suyono, berita liputan 6 pagi SCTV).
Dari Liputan Berita 6 Pagi di SCTV diketahui bahwa telah terjadi
bentrokan di kawasan Kecamatan Slahung, Kabupaten Ponorogo oleh anggota suatu
perguruan pencak silat yang menyebabkan kerugian oleh beberapa pihak. Dapat
dikatakan bahwa yang bertikai tersebut adalah anggota dari PSHW dengan PSHT.
Entah mengapa anggota dari organisasi PSHT tiba-tiba menyerang anggota
organisasi PSHW. Selang beberapa waktu dapat diketahui bahwa penyebab dari
bentrokan tersebut adalah pembuatan sebuah tugu dari lambang organisasi PSHW di
Desa Bungkul, Kecamatan Slahung, Kabupaten Ponorogo. Anggota dari PSHT merusak
tugu, sepeda motor dan beberapa rumah disekitar tempat tugu tersebut berada.
Para warga di sekitar tempat kejadian bentrok masih
terheran-heran dengan ulah para pemuda tersebut. Mengapa para anggota PSHT
dengan arogannya melalukan tindak anarkisme seperti itu. Masyarakat Ponorogo
sudah tahu soal adanya permusuhan antara dua organisasi tersebut sejak lama,
namun yang menjadikan pertanyaan, mengapa anggota PSHT merusak tugu, motor dan
rumah warga yang tidak tahu apa-apa? Apakah mereka bersalah? Setelah dikaji
lebih lanjut dapat diketahui bahwa akar dari permasalahan tersebut adalah
anggota PSHT tidak terima apabila anggota PSHW mendirikan tugu di kawasan
Kabupaten Ponorogo.
Para anggota dari organisasi PSHW merasa heran dengan
ulah dari saudara muda mereka (anggota dari PSHT), mengapa mereka tidak terima
dengan adanya satu buah tugu dari organisasi PSHW? Bukankah tugu mereka (PSHT)
berdiri dimana-mana? Apakah mereka merasa iri dengan berdirinya satu buah tugu
saja dari organisasi PSHW? Padahal anggota PSHW selama ini tidak pernah
melakukan pengrusakan terhadap tugu-tugu dari organisasi PSHT sendiri. Oleh
karena itu pada tanggal 15 Januari 2013 konflik antara PSHW dengan PSHT
mengenai berdirinya tugu PSHW di kawasan Kota
Reog tidak bisa dihindari. PSHW bertekad melindungi tugu mereka yang baru
saja dibuat, sedangkan PSHT bertujuan untuk merusak tugu tersebut.
Anarkisme
di dalam konteks remaja yang menjadi anggota dari organisasi seni bela diri
pencak silat PSHW dan PSHT di Bumi Reog seolah-olah
menjadi sebuah kebiasaan yang dilestarikan. Apabila hal tersebut tetap dianggap
perilaku biasa, maka bisa-bisa menjadi sebuah kebudayaan yang menyimpang.
Kebudayaan yang menyimpang ialah sebuah perilaku yang tidak benar dalam
pandangan hidup, kepercayaan, dan simbol-simbol masyarakat (Liliweri, 2007: 7).
Betapa bahanya apabila perilaku anarkisme menjadi sebuah kebudayaan di dalam
lingkup masyarakat, pasti akan menjadi sebuah gaya hidup yang berbahaya dan
menyimpang serta merugikan banyak pihak.
Seharusnya mereka para pendekar (baik anggota PSHW maupun
PSHT) lebih dewasa dalam mengambil sikap. Dengan mengambil langkah untuk
bentrok akan menyebabkan kerugian dari kedua belah bilak, baik pihak PSHW
maupun PSHT sendiri dan bahkan membuat rugi pihak lain. Bukankah antara PSHW
dengan PSHT masih bersaudara? Bukankah tujuan utama mereka ikut organisasi seni
bela diri pencak silat untuk membela diri ketika mendapat tekanan dari musuh?
Kenapa mereka malah menyimpang dari tujuan luhur organisasi mereka sendiri?
Apakah para anggota organisasi tersebut tidak malu kepada masyarakat dengan ulah
yang kekanak-kanakan seperti itu? Semestinya para pendekar dari anggota PSHT
lebih mawas diri terhadap perbuatan mereka soal perusakan tugu dari PSHW.
Seharusnya mereka segan melakukan perbuatan seperti itu sebab secara nyata
mereka (anggota PSWH) tidak pernah melakukan perbuatan perusakan tugu PSHT.
Kenapa tidak dibiarkan saja mereka para anggota PSHW membuat tugu sebagai sebuah
ekspresi kebanggaan mereka terhadap organisasi yang diikutinya. Seharusnya PSHT
lebih tenggang rasa, menghormati, dan menghargai mereka. Soalnya sikap tersebut
sudah ditunjukkan lebih lama dari anggota PSHW yang tidak pernah melakukan
perusakan terhadap tugu PSHT.
Sebenarnya para pemimpin dari kedua organisasi tersebut,
yakni PSHW dan PSHT telah mengambil sikap yang bijak. Para pemimpin organisasi
tersebut telah bersuara untuk berdamai dan berjanji tidak akan saling bertikai antara
satu dengan yang lainnya. Seyogyanya apabila pemimpin sudah berdamai, sudah
sepantasnya para pengikutnya juga akan ikut berdamai. Namun ternyata tidak,
dipantau di lapangan mereka para pendekar dari kedua organisasi tersebut masih
sering melakukan pertikaian. Entah siapa yang memulai konflik terlebih dahulu
keadaan telah menjadi buram. Mungkin penyebab utama dari rentetan konflik yang
berkepanjangan antara PSHW dengan PSHT adalah mayoritas para anggotanya yang
masih muda/remaja yang masih labil dalam hal mengontrol ego serta sangat mudah
marah. Jadi konflik sangat rentan terjadi diantara pemuda yang berbeda
organisasi pencak silat (terutama antara PSHW dengan PSHT). Sudah sepantasnya
para pemimpin organisasi dari PSHW maupun PSHT lebih ketat menyeleksi siapa
saja yang mau masuk menjadi anggota, hal tersebut bisa dipraktekkan dengan
menggunakan batasan umur, semisal hanya bisa menerima anggota yang telah
berumur 17 tahun. Apabila hal tersebut bisa diterapkan maka bisa lebih efisien
untuk meminimalisir terjadinya konflik. Karena remaja yang telah 17 tahun lebih
matang kadar emosinya dan lebih bisa mengontrol setiap langkah perbuatannya.
Sebab realitanya, remaja yang berumur 13-16 tahun masih labil dalam hal mengambil
keputusan, mudah terpengaruh, mudah emosi, serta belum terlalu mahir dalam
menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik (Siti Rahayu, 2006: 276-277).
Pihak kepolisian seharusnya lebih tanggap mengenai
permasalahan dari dua organisasi terbesar ini di kawasan Bumi Reog. Polisi seharusnya bertindak cepat apabila dua organisasi
ini sedang melakukan hajatan dalam skala besar, harus mendampinginya sampai
acara tersebut selesai. Mengapa harus demikian? Karena selama ini konflik
sering terjadi disaat salah satu organisasi mengadakan hajatan penting dan ada
organisasi dari pencak silat lain yang mengganggu. Maka terjadilah konflik/duel
antar pemuda yang berbeda organisasi tersebut. Mungkin pihak berwajib
seharusnya juga lebih memberikan perhatian khusus terhadap dua organisasi yang
rawan berkonflik ini.
PENUTUP
Organisasi seni
bela diri pencak silat pada dasarnya merupakan sebuah kelompok yang dibentuk
untuk memberikan pelatihan jurus-jurus tertentu kepada anggotanya guna menjadi
tameng diri ketika dihadapkan dengan gangguan musuh. Seni bela diri pencak
silat sendiri juga pasti mempunyai ideologi untuk membela yang benar. Tidak
terlepas dari itu, organisasi yang sering bertikai dan bermusuhan seperti PSHW
dan PSHT sendiripun juga memiliki ideologi seperti itu. Namun seiring
berjalannya waktu, para anggota organisasi tersebut menjauh dari tujuan utama
mereka. Mereka menjadi semena-mena dalam berbuat sesuatu dikarenakan mereka
telah mempelajari seni bela diri pencak silat dan kebanyakan mereka yang
bertingkah seperti itu adalah para remaja/pemuda (siswa SMP/SMA).
Mereka para anggota organisasi PSHW maupun PSHT yang
masih muda/remaja terlalu rentan untuk melakukan konflik. Mereka belum bisa
mengontrol ego mereka dan membedakan secara pasti bagaimana caranya berperilaku
yang baik di dalam masyarakat. Mereka para remaja yang menjadi anggota dari
organisasi yang bermusuhan tersebut mendapat stigma buruk dari masyarakat
dikarenakan ulah mereka sendiri yang sering bertikai dan bahkan berbuat onar
yang bisa merugikan masyarakat. Apabila tindak anarkis mereka masih terus berlangsung
yang disebabkan karena permusuhan lama dan kesalahpahaman maka bisa-bisa
organisasi seni bela diri pencak silat mereka (PSHW dan PSHT) mengalami
penurunan pamor dalam masyarakat luas. Oleh karena itu perlu adanya penanganan
lebih lanjut dari pemimpin kedua organisasi tersebut terhadap para anggotanya,
pihak kepolisian dan dari masyarakat.
Penanganan lebih lebih lanjut tersebut dimaksudkan supaya
konflik antara dua organisasi ini bisa diredam. Apabila hal tersebut bisa
tercipta, semisal antara PSHW dan PSHT berdamai dan melupakan permusuhan
mereka, maka tidak akan terjadi adanya tindak anarkisme dan terjadinya kerugian
di dalam masyarakat. Sudah sepentasnya jalan damai dilakukan antara dua
organisasi pencak silat silat ini, sebab masyarakat yang mengalami kerugian
sudah bosan dengan tingkah laku anarkisme mereka. Berbeda ideologi itu wajar,
tetapi jangan jadikan perbedaan sebagai alasan untuk bertikai. Tidak ada
salahnya hidup berdampingan dengan organisasi seni bela diri pencak silat
lainnya.
DAFTAR
RUJUKAN
Goodman, F. Bela Diri Untuk Semua Umur. 1994. Ghalia
Indonesia: Jakarta.
Liliwei,
A. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar
Budaya. 2007. PT LKiS Pelangi Aksara: Yogyakarta.
Rahayu,
S. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam
berbagai bagiannya. 2006. Gajah Mada University Press: Yogyakarta.
Saleh, M. dan
Matakupan, J. Bela Diri II. 1983. CV.
Gembira: Jakarta.
Dirgo Suyono, berita liputan 6 pagi SCTV. http://news.liputan6.com/read/372410/ratusan-pendekar-di-ponorogo-bentrok.
diakses 28 Maret 2013.
Louis Rika, 2012. http://www.antarajatim.com/lihat/berita/96623/memutus-rantai-penyebab-tawuran.
diakses 28 Maret 2013.
www.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Ponorogo.
diakses 28 Maret 2013.
http://literatursejarah.blogspot.com/2010/01/sejarah-persaudaraan-setia-hati-tunas.html.
diakses 28 Maret 2013.